Tari Pendet termasuk dalam jenis tarian wali, yaitu tarian Bali yang
dipentaskan khusus untuk keperluan upacara keagamaan. Tarian ini
diciptakan oleh seniman tari Bali, I Nyoman Kaler, pada tahun
1970-an
yang bercerita tentang turunnya Dewi-Dewi
kahyangan ke bumi. Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis tarian wali
namun berbeda dengan tarian upacara lain yang biasanya memerlukan para
penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet, baik
yang sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita,
kaum wanita dan gadis desa. Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis
muda hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di depan
mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik.
Tidak memerlukan pelatihan intensif.
Pada awalnya
tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di Pura,
yang menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam
marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian upacara.
Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali
mengubah tari Pendet menjadi tari “Ucapan Selamat Datang”, dilakukan
sambil menaburkan bunga di hadapan para tamu yang datang, seperti Aloha
di Hawaii. Kendati demikian bukan berarti tari Pendet jadi hilang
kesakralannya. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius
dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental. Dan tari pendet
disepakati lahir pada tahun 1950.
Tari Pendet
Sakral
Biasanya Tari
Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para putri,
dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di
halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih). Para penari Pendet
berdandan layaknya para penari upacara keagamaan yang sakral lainnya,
dengan memakai pakaian upacara, masing-masing penari membawa
perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku (wadah air suci),
kendi, cawan, dan yang lainnya.
Guru Besar
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia, menegaskan bahwa
menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.
Tarian ini
merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja putri,
masing-masing membawa mangkuk perak (bokor) yang penuh berisi bunga. Pada akhir tarian
para penari menaburkan bunga ke arah penonton sebagai ucapan selamat
datang. Tarian
ini biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau memulai suatu
pertunjukkan (1999: 47).
Pencipta
atau koreografer bentuk modern tari Pendet ini adalah I Wayan Rindi
(?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari
dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui
pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif
mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan
keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya.
Menurut
anak bungsunya, I Ketut Sutapa, I Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet
sakral menjadi Tari Pendet penyambutan yang kini diklaim Malaysia
sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan Rindi sangat menyesalkan
hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah berpikir untuk
mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.
Tari Pendet
Penyambutan
Di
samping belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah
dipatenkan karena mengandung nilai spiritual yang luas dan tak bisa
dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Dalam hal ini, I
Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali
mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan
budaya nasional dari tangan jahil negara lain.
Menggunakan
pendekatan ilmu pengetahuan sejarah seharusnya lebih proporsional dari
pendekatan ilmu pengetahuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena
HAKI adalah produk budaya barat yang baru eksis kemudian. HAKI tidak
cukup layak mengamankan produk-produk budaya sebelum HAKI didirikan, apa
lagi pemanfaatannya lebih berorientasi kolektifitas, bukan
individualitas seperti paham budaya barat.
HAKI
tidak akan sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat beradab
dan bermartabat. HAKI diarahkan untuk kepentingan ekonomis, sedangkan
produk-produk budaya Indonesia lebih berorientasi kepentingan sosial.
Kesalahan
pemerintah
Merunut
dari sejarah, tari pendet telah lama mengakar dalam budaya Bali.Wayan
Dibia, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, mengatakan,
tari pendet merupakan salah satu tarian yang paling tua di antara
tari-tarian sejenis yang ada di Pulau Dewata.
Penggagas
tarian tersebut, lanjut Dibia, adalah dua seniman kelahiran Desa
Sumertha Denpasar, yakni I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng. ”Kedua
seniman ini menciptakan tari pendet penyambutan dengan empat orang
penari, untuk disajikan sebagai bagian dari pertunjukan turistik di
sejumlah hotel yang ada di Denpasar, Bali,” tambahnya.
Ia
mengatakan, sejak diciptakan tarian itu selalu dijadikan acara pembuka
bagi sajian tari Bali lainnya.
Pada 1961, I
Wayan Beratha mengolah kembali tari pendet tersebut dengan pola seperti
sekarang, termasuk menambahkan jumlah penarinya menjadi lima orang.
Berselang setahun kemudian, I Wayan Beratha dan kawan-kawan menciptakan
tari pendet massal dengan jumlah penari tidak kurang dari 800 orang,
untuk ditampilkan dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta.
Kasus
klaim Malaysia atas budaya Nusantara ini memang bukan yang pertama.
Dan, boleh jadi pula tidak akan menjadi yang terakhir. Bagi budayawan,
Radhar Panca Dahana, klaim budaya Indonesia oleh Malaysia untuk kesekian
kalinya merupakan kesalahan Pemerintah Indonesia sendiri. ”Ya tidak
apa-apalah, kita juga suka mengambil budaya lain untuk promosi,” katanya
kepada Republika.
Bagi
Radhar, kecolongan budaya tersebut sebenarnya sebuah cermin bahwa kita
terluka dan malu karena sadar sebagai pemiliknya, tidak memerhatikan.
”Selama ini kebudayaan dipinggirkan, pemerintah dan masyarakat tak lagi
peduli,” ujarnya.
Agar kejadian serupa tak terulang lagi,
Radhar meminta pemerintah agar lebih memerhatikan kebudayaan. ”Kita
majukan budaya kita, supaya kita ada di depan. Munculkan budaya kita
dalam upacara-upacara, acara-acara. Jangan lagu-lagu masa kini yang
dinyanyikan oleh Presiden kita,” katanya menandaskan.